Syair Sang Bulan

Benderang di langit malam,
hanya ini yang ku bisa, memikul beban beratmu sang Surya,
sekalipun bantu ku tak banyak bermakna,
paling tidak, hingga kelak Tuhan pertemukan kita..."

"Like the Moon who embrassed that Sun,"

Jumat, 18 November 2011

ketika..."

Biarkan malam menulis ceritanya,

aku sedang tidak mengumpat, aku menulis apa yang ada di alam,
keindahan maupun kengerian yang ada,
kekayaan maupun kemiskinan,
...
Mungkin kau hidup di kasur empuk yang suci, tapi sempatkah kau berfikir tentang jerami yang bercampur dengan lumpur, sungguh ada bocah yang terlelap di sana,

aku hanya sedang berulah nista, mana tau orang suci sepertimu apa itu nista.

karena aku hanya sanggup menuliskannya, sekalipun orang sering mencibir dengan umpatan,
kata-kata tak lagi berarti.

Tidak,
hati akan terketuk jika membaca,
kecuali jika memang tak punya hati.

: puing kanaya

Senin, 14 November 2011

Catatan Malam

Series cengeng terakhir, "Menangisi ia yang tertidur lelap. . . "
oleh Puing Kanaya pada 10 November 2011 jam 23:13

Aku harap setelah ini, aku maupun wanita-wanita lain, tak lagi menangisi ia yang tertidur lelap.

Baru saja,
entah apa yang ku tangisi, tapi air mataku terus saja meleleh, seiring rasa takut yang menggunung,
"aku takut kau pergi lagi seperti dulu. . . "

padahal itu hanya ketakutanku saja, dan ia damai dalam mimpinya, damai dengan mata terpejam.

Sesaat ku pandangi ia,
"aku mencintaimu tanpa peduli siapa kau," bisikku.
Ia tetap terlelap.
"aku mencintaimu, dan cukuplah bagiku, jangan lagi kau bicara tentang pantas atau tidak, karena itu perih, sangat perih ku dengar,"

ia tak bergeming, tetap dengan lelapnya,

sudahlah,
t0h ia juga tak akan menangisimu di tidurmu nanti.

Tapi aku tetap menatapnya,
paling tidak, cintaku semakin dalam tiap menatapnya terlelap.

.puing.
Angin savana yg membuatku seperti ini...!

Kiriman seorang kawan

Matahari dan bulan

From my friend, frodo

___Biar bulan bercermin pada lembayung senja
Meratapi kerinduan pada sang mentari
Hanya langit yang menjadi saksi
atas kebisuan asa yang terperi

Bintang-bintang pun berkerlip bimbang
Akankah mereka bisa menghibur bulan?
sedang bulan meragu
tentang harap untuk bersua

Malam pun beranjak dan merambat
menutup bayang-bayang kehidupan
ketika anak adam melempari bulan dengan botol
dan meneriakinya tajam____


“Hei bulan! Tidakkah kau tahu?! Sedari pagi tadi Surya menangis deras dengan awan-awannya!
Tapi sekarang kau malah kemayu dengan purnama yang kau dapati dari dia!
Tidak adakah pengertian dari mu?! Sedikit empati atau simpati padanya?!
Dia kesepian tahu?! Setiap hari ada saja yang menggerutui hangat sinarnya!
Sementara kau di sini. Yang takkan pernah bisa berbias cahaya tanpa dia, malah ketiban untung!
Tak ada manusia yang mengeluhkan keberadaanmu! Mereka malah terlalu mengelu-elukanmu!
Memuja dan memuji binar sabit hingga purnamamu!
Mereka tak tahu bahwa kamu tak berarti apa-apa tanpa Sang Surya yang seringkali mereka gerutui!
Mereka juga lebih sering merindukanmu ketimbang Surya!”
Lalu anak Adam itu berlalu dengan tubuh sempoyongan.


___Bulan pun bimbang.
Wajahnya putih memucat
Tak lagi sebenderang dulu.

Ia merasa terluka atas kedigdayaan
yang tak bersumber dari dirinya.
Ia merasa malu pada mentari
yang seharusnya lebih berhak atas pujaan itu.

Hingga tiba waktunya...
saat bulan berada di antara bumi manusia dan mentari...___


“Suryaku.... apa benar kamu merasa kesepian? Benarkah kamu sering menangisiku lebat?
Apa benar cahaya yang kamu berikan untukku malah membuatmu di lupakan bahkan sering dicaci dan dimaki?
Kini gerhanamu telah tiba. Saat bagi kita untuk berbagi kerinduan yang singkat hingga Tuhan kembali mempertemukan kita lagi kelak.
Aku harap kamu mau jujur padaku.....”


__Untuk pertama kalinya bulan dan mentari bertemu
dalam canggung dan keraguan yang membayang.
Tak ada senyum atau sapa
yang biasa tersambut dari keduanya___


“Ah.. purnamaku sayang, seharusnya perjumpaan kita tak perlu diawali dengan membahas hal ini.
Tidakkah lebih baik jika kita mengungkapkan kerinduan yang lebih indah?
Aku rindu akan kisah di malam-malammu yang syahdu.
Tentang sepasang kekasih yang memuja elok mu.
Yang menjadikanmu sebagai saksi atas kisah cinta mereka...
Aku rindu itu... bukan yang lain”

“Tapi... kata anak Adam...” Bulan menyanggah.

“Ah.. lagi-lagi anak adam. Tolonglah kamu tak perlu untuk terlalu menghiraukan mereka.
Mereka memang selalu begitu. Menilai dan menghakimi dari satu sisi saja.
Tak mau melihat lebih jauh, mengerti lebih dekat, dan memahami lebih dalam.
Biarkan saja mereka seperti itu. Kita biarlah menjadi kita. Aku mentarimu dan kamu purnamaku.
Kita di sini sedang mengemban titah Tuhan. Bukan sedang memainkan sandiwara cengeng seperti Romero dan Juliena.

“Jangan pernah lagi kamu bertanya apa aku kesepian. Sebab jika kamu tahu, aku di sini juga tak pernah sendirian.
Meski seringkali aku merindukanmu. Aku masih ada arakan awan yang menemaniku.
Aku masih ada burung-burung yang melintasiku. Aku masih ada hamparan langit yang membiru lazuardi.

“Cukup kamu menjadi dirimu. Aku masih akan tetap merindukanmu.
Bukankah sudah kutitipkan kerinduanku pada bintang-bintang dilangit malam mu? Bukankah sudah ku biaskan kerinduanku dalam terang cahaya purnamamu?
Asal kamu tahu, aku tulus melakukan semua ini.
Aku tak perduli dengan kedigdayaan yang manusia sematkan dengan seenaknya.”

Jumat, 29 Juli 2011

sebuah catatan kecil, " Aku lupa kalau aku perempuan"



Aku lupa kalau aku perempuan. . . "
Sunday, July 24, 2011 12:40 AM

Maaf, aku lupa,

bahkan aku lupa caranya menangis ketika hatiku sangat perih,



aku lupa,

caranya menyenangkan hati ketika hatiku benar benar sakit,



bahkan ketika seorang bert0peng wanita mencabik cabik hatiku,



ambil saja lelaki itu, ambil, tapi jangan dengan melukaiku,



peluk lelaki itu seerat kau bisa, aku tak kan menyentUhnya, asal jangan menggores lagi luka yang tak pernah mengering ini.



Aku heran, kau wanita bukan?

_untUk wanita angGun yg pernah bilang aku adiknya.

sebuah catatan keci, "Hapuslah namanya, dan gantilah dengan namaku...."

Sulit sekali aku mengatakan kalimat itu.



Dhim, semoga aku selalu salah sangka.



Entah kenapa tiap tak sengaja membaca tulisanmu, aku selalu berfikir bahwa kau masih menempatkan ia, wanita yg dulu sempat sangat kau cinta, sebagai kenangan yg paling indah dan seperti masih menaruh engkau harapan padanya yg sudah dimiliki orang.



Hehmmm, aku tak memaksa kau melupakannya tentang k0ta semarangmu yg penuh kenangan,

tentang Juni di 2-3tahun lalu,



tapi ingatlah jua tentang Juni setahun lalu, dan aku dengan kampungku ini, ingatkah?



Aku cemburu? Tidak, aku tak akan mencemburuinya, tapi ingatlah sayangku, telah ada lelaki yg memilikinya, yg akan kau berd0sa jika mengharapkannya,



jadi ku m0hon, hapuslah namanya, dan gantilah dengan namaku.



Ingatlah tentang Juni kita setahun lalu, ingatlah tentang harapan yg kita gantung bersama, ingatlah bahwa segala aral kemarin adalah jalan pendewasaan kita, ingatlah Dhim, ingatlah. . .



Aku sampai seperti nista membujukmu mengingatku,

tapi apa yang harus bulan lakukan ketika matahari lupa untuk menyinarinya?



Dhim,

there was n0t our m0ment, we d0n't have anything, but remind our wishing, our dreams, our praying...



Remind on June a year ago, remind all, please f0r me..



Hanya itu,

aku ingatkan, bahwa aku tak beranjak dari tempat ketika pertama kau datangi, dan terakhir kau tinggalkan.



Aku masih tetap di sini, menunggu.



Kampungku,

27.07.11

Kamis, 09 Juni 2011

Series cengeng, "Menangisi ia yang telah tertidur lelap"

B0dohnya si bulan ini. . .

Karena damainya hati tak jua ia temukan, dan suara ingin sekali ia dengarkan, hingga tiap kata bagai tirani, aku . .

Aku dan rasa tak menentu ini,

maaf, jika setiap detikku menjadi bebanmu..
Biarlah ku bergelanyut di pundakmu, biar beratku kau topang, biar ku bebankan segala ruah riak hidup, dan lara yg tak menentu.. Kali ini bukan dari kutipan kata2 orang, atau terinspirasi pada teman, tapi, aku sendiri..

Cengeng,
belum, air mata ini belum menetes, tapi mata air di hati ini tengah tumpah..

Aku takut,
takut sesuatu yg buruk terjadi karena hal sepele.. Bukankah kemarin kita bisa melewati yg lebih berat, kenapa yg seringan ini justru berat bagiku?

Engkau mungkin tengah terlelap, dengan mimpimu pasti. Dan aku khawatir, aku takut saat terbangun nanti kau sudah tak mengingatku lagi..

Karena semua dapat berubah semudahnya, dan aku takut..

Aku tak berlogika jika begini, bodoh ya..
Tapi apalah,
beginilah aku,
seperti inilah aku..

Dan kau punya penentu..


_first_
juLy.1st.'10


Aku merindumu wahai pelangi putih yg sembunyi di balik bantal tidurmu, sibakkan beludrumu, biar ku raih sayapmu, biar tak ku merenung di keheningan hati, biar tak sesat aku, biar tak hilang aku. .

Ku basuh peluhmu tiap lelah kau hentakkan, ku basuh dengan soca hati nan beningnya wudhu, aku, menatapmu terlelap, menatapmu bermimpi, menatapmu dengan buih meleleh di muara pengelihatanku, aku . .

Hanya tabir d0sa, ia mengikatku, hingga tak sampai tanganku menjangkaumu, tak sampai menjangkaumu, tak sampai menjangkaumu. .

Sayapmu terlalu putih untuk tersentuh jemari bernoda jingga ini,

hanya bisa, memejamkan mata, seolah memandangimu damai di impian, memandangimu haru aku, memandangimu damai aku, memandangi bayangmu dalam khayalku.



_kaNaya_
22.04
27.09.10

Tengoklah sejenak

aku adalah perempuan di peraduan senjamu,
yang menghilang oleh asa,
dan kau cari pun tak temukan

: puing kanaya

Senin, 30 Mei 2011

Potongan Kata Maaf karya Puing Kanaya

_Cerpen ini juga pernah diterbitkan di buku "Rumah Pelangi"



Potongan Kata Maaf
bisa dibaca di buku Rumah pelangi

Untuk Nagiba,

Siang itu matahari telah menampakkan sinarnya yang terik, ia seolah ingin memanggang puing-puing sisa kebakaran tiga hari yang lalu. Bangunan kokoh berlantai dua yang kini hanya tinggal puing-puingnya saja, tampak kehitaman dan seolah ringkih untuk dipercayai lagi bahwa bangunan itu tiga hari lalu masih berwujud asrama putri para guru Sekolah Dasar.
Seorang lelaki jangkung tampak memandangi sisa bangunan itu, ia menatapnya lagi setelah setahun lebih ia tak pernah lagi menatap bangunan itu. Mungkin kalau saja tiga hari yang lalu tidak terjadi kebakaran di asrama itu pastinya lelaki itu tidak akan berdiri di tempat sekarang ia berdiri menatap tiap retakan bangunan itu.
Matanya lekat entah mengartikan apa, seperti rasa terdalam yang belum pernah ia ungkap sebelumnya, seperti ia ingin bercakap dengan asrama itu namun semua telah terlambat karena asrama itu hanya tinggal puing-puing sisa si jago merah.
Ia menunduk memandangi kakinya yang terbalut sandal selop di atas rerumputan lapangan, sejenak tampak ia melangkahkan kakinya perlahan ke arah bangunan yang masih dilingkari pita kuning sebagai garis pembatas dari polisi.
Lelaki itu melewatinya saja, berjalan perlahan dan berhenti tepat di depan tangga yang akan membawanya ke lantai atas dari bangunan berlantai dua itu. Ia berhenti sejenak tapi akhirnya kakinya melangkah juga, perlahan dengan menghindari debu dan kayu keropos yang dapat saja menjatuhinya. Hingga ia sampai di lantai dua, ia langsung berbelok ke kanan, kapling tujuh, itu yang ia cari, menatap pintu yang sudah terbakar dan dinding hitam oleh api. Aku menatapnya saja, membiarkan ia berjalan menuju kamarku, ah kamarku, masa dia tahu kalau itu adalah kamarku, mungkin dia asal masuk saja dan kebetulan itu kamarku. Lelaki itu menatap ke arah meja kecil yang berisi sisa-sisa kertas berserakan yang tersobek-sobek tampak menghitam dan menjadi abu, ia membersihkan mejaku dengan tangannya, biasanya ia tak mau tangannya itu kotor kena debu, mungkin ia sudah lupa akan hidup sterilenya. Usapan tangannya yang pertama di meja itu ia hanya memperoleh debu hitam yang kotor, tapi usapannya yang kedua ia memperoleh bingkai foto yang terbalik dan tergeletak bertumpuk debu di meja itu. Bingkai kaca itu sanggup melindungi foto yang terpampang di dalamnya, lelaki itu menatap lekat wajah dirinya dan aku yang tampak ceria dalam foto itu. Ia tertunduk, memikirkan sesuatu, biar kutebak ia pasti memikirkan bahwa aku masih menyimpan fotonya padahal ia sudah setahun lebih meninggalkan aku tanpa kabar apapun, aku yakin ia menyesal meninggalkanku tanpa sepatah kata apapun.


>>>> bersambung di Rumah Pelangi Tentang Cinta :Karuna Vidya Jakarta 2011

Sebuah Pernyataan karya Puing Kanaya

_cerpen ini pernah diterbitkan di buku "Rumah Pelangi",,,
selengkapnya silakan beli bukunya :-)

Apa kabar suamiku?
Ku harap kau dalam keadaan baik ketika membaca tulisanku ini.

Di sini, pertama aku ingin mengenang masa silam kita, ketika kita masih berstatus mahasiswa, ketika jiwa muda kita masih iseng dan labil. Betapa seringnya kita bertengkar, tentang apa saja, entah itu masalah kuliah, organisasi, atau hal-hal tak penting. Ada saja yang bisa kita perdebatkan untuk menciptakan suatu kegaduhan di tempat kita berada.

Ketika kau memarahiku, aku memukulmu, kau menjitakku, bercanda, berceloteh, saling ejek, huh…. Menggemaskan sekaligus menyebalkan, tapi aku suka jika mengenangnya, rasanya hal seperti itu menjadi sesuatu yang membuat aku semakin sayang padamu.

Lalu, kau ingat bagaimana wajah teman-teman kita, saat dua tahun setelah kita wisuda, kau ingat ketika mereka tercengang membaca undangan yang kita kirimkan.

“Apa Ren, yang benar saja?”
“Lho, jadi kau menikah dengan Rendra?!”
“Apa ini, tak salah?! Bukannya kalian tak pernah akur?”
“Jangan-jangan undangan ini salah cetak…”
“Ah, paling cuma kemiripan nama…”

Dan entah apa lagi komentar mereka, lebih-lebih ketika mereka melihat di pelaminan aku dan kamu yang menikah.
Tapi,
Di sini aku tak ingin banyak membahas bagaimana kita dulu, yang ingin ku ungkapkan adalah apa saja yang ada setelah sembilan tahun pernikahan kita.

Saat pertama tamparanmu melayang ke pipiku, bukan ciuman hangat yang biasa kau persembahkan untukku. Perih rasanya, bukan karena sakit tamparanmu, tapi kenapa tanganmu begitu ringan hingga menghadiahkan tamparan untukku?! Apakah kau khilaf? Atau memang aku terlampau salah? Jawabannya ada di atap rumah kita, kalau saja atap itu mau menceritakannya padaku.


>>> lanjutkan di buku Rumah Pelangi Tentang Cinta :Karuna Vidya Jakarta 2011

Tentang Juni dan selalu Juni

Tentang bagaimana kita dulu,

aku rindu, pada waktu pertama kita tahu, diantara kita, dan keadaan yg mendukung kenyataan untuk kita, sungguh aku sangat bersyukur jika benar kau nyata bagiku,

tapi,,

seperti inilah aku, aku ya seperti ini, lengkap dg segala kelemahanku yg tak bisa kau maklumkan,

pergi,,

kau memang pergi meningGalkan lara ini,

dan aku,

tak berani lagi memulai,

biar perihku ku bawa lari,

biar tetap seperti ini,

sendiri

: puing

mem0ar J.U.N.I

`akan tiada lagi kini tawamu, tuk hapuskan semua sepi di hati`

aku masih tidak percaya,

kalau harapan itu k0song, aku masih tidak percaya,

Tuhan, bantu aku untuk menyadari semua ini, kenapa begitu perih, padahal baru sekejap ia hadir,

Tuhan, aku tak ingin seorang pun mendatangi hatiku, jika berniat pergi, . .

Tuhan, kenapa mesti kau hadirkan dia, jika sekejap ia pergi, dalam dawai kekalahan,

Tuhan, kenapa ia sangGup runtuhkan bentengku, tapi ia tak sangGup bertahan di dalamnya..

Tuhan, aku masih tak percaya,

Tuhan, aku ingin kembali, pada saat hatiku begitu kuat, pada waktu hendak ku nikmati hatiku sendiri, dan kau hadirkan ia, dengan pesonanya yg memukau, dan aku jatuh, dan terpuruk..

Tuhan, entah harus ku apakan retakan hatiku ini,

Tuhan, jangan Engkau hadirkan lagi matahari untuk bulan, jika ia semu, hanya ada satu matahari nanti untuk bulan, dan ia nyata, tak semu..

Tuhan, hindarkan aku dari perih ini, kesempatanku telah habis.

Dan mungkin inilah akhir,

sekalipun masih juga tak ku percayai.

_tears of puing_

Minggu, 15 Mei 2011

Sebuah catatan pendek, karya puing kanaya

Menjadilah terang di hening ringkik pagi,

aku sebatas waktu yang membeku, dalam pilu dan deru, ku rinduimu terang..

Ku rinduimu,

sesekali mataku lantang menatapmu, tapi kemudian aku tertunduk, perih..

`kenapa dengan sinarmu kau menyakitiku?`

`sungguh dinda, tidaklah aku bermaksud, tapi beginilah aku, terangku sewaktu-waktu hanyalah p0ison yang bisa saja mematikanmu,`

aku tak bergeming, bukan. Ia bukan p0ison, tapi aku yang terlalu lemah.

_aku, kepingan puing mimpi

Kamis, 05 Mei 2011

who would be...?

masih sebatas angan, entah siapa nanti, 
karena ada banyak cerita, banyak pilihan pula
dan hanya satu yang tepat
suatu hari nanti, 
pasti


Just puing