Syair Sang Bulan

Benderang di langit malam,
hanya ini yang ku bisa, memikul beban beratmu sang Surya,
sekalipun bantu ku tak banyak bermakna,
paling tidak, hingga kelak Tuhan pertemukan kita..."

"Like the Moon who embrassed that Sun,"

Kamis, 16 Agustus 2012

Sayap dan Abu

Karya Puing Kanaya Mimpiku telah tertelan waktu, ku tanggalkan sayapku di menara api, terbakarlah ia menjadi abu. Mimpiku telah menjadi abu, aku hanya bisa memandangnya, ku taburkan di langit-langit kamar, tiap malam ku tatap dalam hening, dalam tanya, kembalilah menjelma menjadi sayap putih, terbangkanku ke langit mimpi biar ku rengkuh semua ambisi, aku, yang pudar pada keadaan, seolah takut kembali bermimpi, bahkan tulisanku kini pun tak lagi sanggup seperti dulu, terang bak perak, pilu laksana malam. Mimpiku telah menjadi abu, ingin aku berlari mengejarnya hingga tak ia tertiup angin, tapi kenyataan memaksaku berdiam diri. Mungkin, memang aku yang tak bisa memahami nasihat alam, sabar adalah cara, tapi aku lah manusia, yang terpuruk seketika melihat sayap-sayapku terbakar, perlahan dan menjadi abu. Dan aku hanya melihatnya, membiarkan seolah inilah garis waktu, lalu bagaimana dengan mimpiku, bukan ini, bukan menjadi putri, justru aku ingin melewati medan terjal yang curam, sekalipun jika terjatuh musnahlah aku, tapi aku ingin, kembali berdiri memikul sayap mimpiku dan terbang, terbang seperti dulu, menggapai dengan genggaman tangan seolah aku sanggup berteriak, aku bisa mewujudkan mimpi! Lalu apa sekarang? Tak ada, bahkan sekedar bermimpi pun seolah enggan, dan sayup ku dengar, tempatmu di sini, teruslah di sini, ya, di sini dan menjadi batu berlumut kemudian lapuk. Aku ingin mengikuti aliran sungai, aku ingin ke muara, ke laut, ke dasar, sekalipun pecah aku, sekalipun remuk aku, menjadi kepingan pasir, biar! Daripada di sini tanpa mimpi, aku serasa k0song. Ya, mimpiku telah menjadi abu, satu per satu, hingga aku takut bermimpi, takut memulai mimpi, terlalu takut. .just puing.

Sabtu, 07 Januari 2012

petikan novel "Pelangi Tiga Warna" karya Puing Kanaya

Ini penggalan novel ”Pelangi Tiga Warna...”
belum selesai tieh....
barangkali kangen sama sybers...

maaf kalu kata2nya aneh


Senin menjadi hari yang cerah untuk upacara bendera, meskipun para pandu baru saja melaksanakan perkemahan tapi itu bukan menjadi alasan tak bersemangat sekolah. Mereka tetap masuk sekolah dan mengikuti upacara bendera dengan khidmat. Dari semua barisan paling sedikit adalah kelas sebelas budaya dan kelas tiga budaya, kelas eksekutif itu memang tak boleh melebihi kapasitas, maksimal tiga puluh siswa. Di antaranya ada Dyra, Rahma, dan Putty yang berbaris berjejer. Sesekali Rahma menjentik tangan Putty atau Dyra, dan sebaliknya, yah itulah khidmat bagi mereka. Selesai upacara Antropologi menjadi menu sarapan mereka. Meski ceramah ini kadang membuat ngantuk tapi enjoy saja buat tiga orang yang duduk di barisan depan itu, karena mereka asik smsan pake kertas. Sesekali memperhatikan dengan akting sok fokus tapi tetap saja just acting.
Bunyi bel istirahat terasa seperti angin segar saja, aku pikir seluruh siswa selalu menantikan waktu istirahat atau pelajaran usai, entah kenapa begitu ya, kalo dipikir yang salah yang ngajar or yang diajar, atau mungkin penjual kepiting kali kan kepiting nggak salah kok diikat…? Itu salah satu kelakar orang Brebes kawanku di S1 Fresh,hehm.. semoga saja dia membaca tulisanku ini.Upst, kenapa aku malah menulis sampai situ…
Kembali ke jalan yang benar,
Lima cewek cantik, modis, gaul, kece abizlah.. tiap kelas pasti ada geng bentuk seperti ini, kumpulan cewek-cewek kelas atas. Entahlah kenapa sering terjadi perkumpulan geng seperti itu, tapi menurutku itu hanya keakraban saja, ya kalo pertama ketemu ngobrol nyambung ya udah bareng terus nah kalo udah gitu yang lainnya tinggal menyebutnya geng, sudah umum kok, perkembangan geng sudah dimulai dari usia SD lho…
Mereka adalah, Rhien, Pie, Hida, Jane, and Reta. Sumpeh mereka mang cuantik-cuantik buangets…. Kelima manusia cantik itu berjalan menuju kantin, tak berapa lama tiga orang dengan postur dua orang kecil dan seorang lumayan tinggi, berjalan di belakang mereka. They are Niela, Amey, und Nana. Terus di belakang mereka juga ada tiga orang lagi kalau yang ini ribut terus dari tadi mereka bertiga sok-sok debat pelajaran yang tadi padahal tau tuh dapat referensi dari mana. Putty, Dyra, dan Rahma.
Semuanya menuju ke kantin. Jangan salah, sembilan siswa putra pun arahnya ke kantin, eh tidak, Irul ternyata berbelok ke masjid, hm… Khairul Azzam, santri yang baik…
Di kantin ramai oleh suara yang riuh, kantin dua menjadi kantinnya para cewek, dan yang cowok kebanyakan di kantin lima. Lima kursi menggerombol, geng cantik asik dengan pembicaraannya sampai,
“Rhien!” panggil seseorang dari luar.
Ternyata Sadewa, siswa kelas Sosial. Cewek putih semampai itu pun menoleh karena merasa namanya dipanggil. Ia keluar kantin dan menemui Sadewa. Kelompok yang ditinggalkan pun berbisik-bisik. Tak berapa lama Rhien masuk kantin lagi dan Sadewa berlalu dengan kawannya.
“Siapa?” tanya Hida dengan mata curiga.
“Sadewa, anak Sosial, masa lu ga kenal sih,” jawab Rhien santai.
“Pacarmu ya?” kali ini Pie yang bicara.
Rhien hanya tersenyum tapi ia tak bisa menyembunyikan wajahnya yang langsung merah itu,
“Cie… traktir dunks…” seru mereka riuh. Biasa kalau ada orang jadian emang umumnya ntraktir makan.
Tapi kupikir itu tidak berlaku untuk kelompok hemat, Rahma, Putty, and Dyra.. orang-orang perhitungan kayak mereka kadang terasa pelit buangets.
“Rhien jadian dengan Sade?” Dyra setengah berbisik pada dua rekannya itu.
“Kalo iya kenapa? Cemburu? Basi… sapa suruh lu nolak Sade,” jawab Putty enteng.
“Tapi Sade beruntung ditolak Dyra, kan sekarang malah dapat cewek cantik… dari pada sama tembakan pertama kan ancur…” sambung Rahma.
“Sialan lu! aku nggak cemburu kok, ngapain coba.. lagian pas nembak aku juga Sade cuma becanda,”
“Becanda atau serius lu bakalan tetep menolaknya kan?!”
“Hehe.. tau aja lu,” jawab Dyra santai, ya karena memang dia masih enggan menyukai siapapun, dalam otaknya masih ada seseorang yang benar-benar bertahta meski ia bukan siapa-siapa.
Di meja lain, bergerombol tiga orang juga.
“Niel, denger nggak tuh, Sade jadian ama Rhien,” bisik Amey pada cewek imut di sampingnya. Secara Niela emang suka Sade sejak kelas sepuluh. Tapi Sade mah gak tahu masalah itu.
“Biarin lah…” jawab Niela cuek. Eits, cuek atau pasrah ya…
“Sabar ya Niel,” ucap Nana tenang. Kalo cewek yang satu ini mang damai bangets bawaannya.
Bel masuk menjadi penutup istirahat dan pelajaran pun kembali dimulai sampai usai ketika pulang, tapi kelas ini tak ada yang pulang karena mereka akan latihan drama untuk pementasan nanti.
“Huh, latihan mulu,” Dyra mengeluh kesal, ya ia jadi tak bisa mengajar tari anak-anak SD gara-gara latihan tiap sore begini.
“Jangan mengeluh, lagian kau mau apa di rumah, paling juga tidur..” ejek Farhan sambil duduk di sampingnya.
“Yee, tidur? Aku tuh bukan putri tidur seperti Rahma..” jawab Dyra.
“Oh.. Rahma ternyata putri tidur ya?!”
Karena namanya disebut Rahma pun duduk ke situ.
“Kalian ngomongin aku ya?” tanya Rahma polos.
“Iya putri tidur…” kata Farhan sambil mengejek.
“Sudah, ayo ke aula saja, kita langsung latihan di sana,” perintah Arham selaku sutradara.
Mereka pun beranjak ke aula. Dan latihan pun di mulai.

Senja tekubur oleh warna merahnya,
Andai saja aku bisa memotongnya
dan mempersembahkan untukmu,
Hingga kau ikut merona menatapnya.


BERSAMBUNG





Pemantasan Teater Pertama…


Aula rame sejak pagi, pelajaran di kelas budaya hanya mempersiapkan pementasan perdana teater yang digawangi Arham dan kawan-kawannya. Instrument musik tradisional disertai gitar, tape recorder, dan entah apalagi, lengkap ditata di aula. Nanti sore pementasan ini akan ditonton oleh seluruh siswa SMA Gatot Subroto. Hida tampak repot dengan berbagai kostum yang ia siapkan, disampingnya ada Pie yang ikut membantunya. Tak jauh dari mereka Jane sedang meneliti make up yang nanti akan ia riaskan pada seluruh pemain. Sedangkan Niela, Reta, dan Radit sedang menyiapkan musik dan pengaturan suara. Di sampingnya juga ada Rhien, Dyra, dan Kara menyiapkan instrument tradisional, mereka semua tampak sibuk.
Seorang gadis tinggi, putih, dengan rambut sebahu, di kepalanya melingkar bandana merah yang semakin menunjukkan betapa cantiknya dia, berjalan dengan terus meneliti berbagai peralatan,
“Musik siap?” teriaknya,
“Oke!”
“Bagus,” ia berlanjut ke arah yang lain.
“Make up?” tanyannya lagi pada Jane.
“Siap,” jawab Jane.
“Lho, kau bekerja sendiri?”
“Iya, Keyla sedang menyiapkan perkamen panggung dengan Luki, sedangkan Rahma, ehm… aku tak tahu dia ke mana,” jawab Jane sambil terus meneliti peralatan make up.
“Awas kau Rahma!” suaranya menggereget sebal.
Jane cuma tersenyum mendengarnya jika sedang begitu Putty memang tak peduli dengan teman segeng atau siapapun.
“Kostum?”
“Belum siap Put,” jawab Pie setengah berbisik, barang kali dia takut pada wajah Putty yang tampak begitu tegas.
“Sori Put, kami belum dapat kostum untuk tuan puteri,” jawab Hida dengan wajah seolah tahu ia siap untuk dimarahi.
“Huhf…” wajah kesalnya itu tak mungkin bisa disembunyikan.
Dari pintu aula tampak Rahma memasuki ruangan itu dengan wajah tanpa dosa. Ia menghampiri Putty dan langsung memeluknya girang,
“Sumpeh Put, aku seneng banget…” suaranya nyaring dengan wajah berseri-seri. Maklum ia tak tahu kalau Putty sedang marah dengannya.
Putty hanya tersenyum sinis sambil melepas pelukannya.
“Terima kasih telah membuatku kesal!” jawab Putty.
“Maksudmu apa? Aku salah ya?”
Kali ini wajah Putty geram dan ia berlalu ke bagian yang lain.
“Putty kenapa?” tanya Rahma pada Hida.
“Ya kau tahu sendiri kan bagaimana dia, eh kostummu gimana aku lum dapat,” kata Hida.
“Bentar ya, kemarin aku sudah tanya pada Dyra dari pada pusing akhirnya tuan puteri memakai kostum tari saja, oke kan?”
“Ya sudah, kau minta pada Dyra lekaslah nanti Miss. Produser marah-marah lagi.”
Rahma berjalan menuju Dyra yang sedang menyiapkan tariannya dengan Rhien. Kara juga. Dua cewek dan satu cowok itu memang ahli tarian di kelas Budaya.
“Dy, kostumku mana?” Tanya Rahma.
“Ambil saja di tasku,” jawab Dyra tanpa menoleh, ia masih asik menyamakan gerakan dengan Rhien.
Mereka bertiga memang penari hebat, ketiganya plus dua rekan mereka dari Sosial dan seorang dari Sains pernah menjuarai tari kreasi tradisional tingkat propinsi dan juara tiga tingkat Jawa dan Bali, keren kan?! Maklum, Dyra sudah jadi guru les tari untuk anak-anak SD, Rhien sudah ikut sanggar tari sejak usia empat tahun, sedangkan Kara, ibunya pelatih tari di sanggarnya sendiri, sanggar tari Kirana yang terkenal di kota ini.
Rahma beralih ke arah Hida dan Pie yang sibuk menata kostum.
“Nih, bagus kan?!” kata Rahma sambil menunjukkan kostumnya itu.
“Ya sudah, baguslah lo gitu,” jawab Pie.
“Kostum gimana?” Tanya Putty.
“Aman Put,” jawab Pie.
“Baguslah kalo gitu.”
Tak berapa lama, Yasmin ditemani Nana memasuki aula.
“Teman-teman, kita makan dulu, makanan sudah siap nih…” teriak Yasmin.
Dan semua pun beranjak membuat lingkaran dan makan bersama. Sebenarnya kebiasaan makan melingkar begitu diadopsi dari cara makan anak-anak pramuka, yah keren juga tuh, menjalin keakraban.
“Ra, kau tahu, tadi aku marah denganmu,” ucap Putty tiba-tiba.
“Iya aku tahu, ehm.. maaf ya, aku memang tadi pergi tanpa izin, aku dipanggil guru, ehm.. gini Put, kita disuruh ikut seleksi debat bahasa Inggris.”
Uhuk…. Putty langsung tersendak mendengarnya.
“Eh, minum dulu Put,” kata Rahma sambil menyerahkan segelas air putih untuknya.
“Kenapa kalian?” tanya Dyra nimbrung.
“Hehm.. ada dech…” jawab Rahma sambil ketawa, “Kasih lihat dulu pada kami animasi tari yang kemarin kamu buat di laptopmu, nanti aku kasih tau, gimana…?” lanjut Rahma.
“Dasar!”
Selepas Dzuhur, mereka berkumpul lagi di aula, panggung telah siap. Arham sang sutradara mengumpulkan semua untuk berdoa, and after that mereka masuk ke ruang rias untuk kostum dan make up.
“Tepat pukul 14.00, aula telah penuh dengan siswa dari berbagai kelas, mereka khusyuk memperhatikan tarian yang dimainkan sebagai prolog teater ini. Dyra, Rhien, dan Kara begitu menjiwai apa yang mereka gerakkan hingga penonton terbius olehnya. Gambaran dua puteri yang merasa memiliki satu pangeran, terdengar pula suara rintih nyanyian yang dinyanyikan oleh Pie, Niela, dan Reta, saat sang pangeran menarik salah satu dari dua puteri itu dan meninggalkan yang lain, Dyra tersungkur di lantai, sampai Yeda tokoh utama memasuki panggung dan membantunya bangkit, Dyra mengitari Yeda dan masuklah Rahma, Dyra beralih mengitari Rahma dan keluar dari panggung. Drama pun dimulai….

Seberkas cahaya turun menyinari indahnya senyum mereka, ini adalah awal dari sebuah perkenalan, kala hujan dan matahari bertemu. Ada kilau menawan di tiap senyumnya. Pun adalah suatu awal yang indah, semoga esok semakin menawan….
bERSAMBUNG




hehehehe
ini aku persembahkan untuk sybers…..


.maaf ya kalu ada kesalahan cerita,, ini aku buat berdasarkan daya khayalku saja, hahahaha

Jumat, 18 November 2011

ketika..."

Biarkan malam menulis ceritanya,

aku sedang tidak mengumpat, aku menulis apa yang ada di alam,
keindahan maupun kengerian yang ada,
kekayaan maupun kemiskinan,
...
Mungkin kau hidup di kasur empuk yang suci, tapi sempatkah kau berfikir tentang jerami yang bercampur dengan lumpur, sungguh ada bocah yang terlelap di sana,

aku hanya sedang berulah nista, mana tau orang suci sepertimu apa itu nista.

karena aku hanya sanggup menuliskannya, sekalipun orang sering mencibir dengan umpatan,
kata-kata tak lagi berarti.

Tidak,
hati akan terketuk jika membaca,
kecuali jika memang tak punya hati.

: puing kanaya

Senin, 14 November 2011

Catatan Malam

Series cengeng terakhir, "Menangisi ia yang tertidur lelap. . . "
oleh Puing Kanaya pada 10 November 2011 jam 23:13

Aku harap setelah ini, aku maupun wanita-wanita lain, tak lagi menangisi ia yang tertidur lelap.

Baru saja,
entah apa yang ku tangisi, tapi air mataku terus saja meleleh, seiring rasa takut yang menggunung,
"aku takut kau pergi lagi seperti dulu. . . "

padahal itu hanya ketakutanku saja, dan ia damai dalam mimpinya, damai dengan mata terpejam.

Sesaat ku pandangi ia,
"aku mencintaimu tanpa peduli siapa kau," bisikku.
Ia tetap terlelap.
"aku mencintaimu, dan cukuplah bagiku, jangan lagi kau bicara tentang pantas atau tidak, karena itu perih, sangat perih ku dengar,"

ia tak bergeming, tetap dengan lelapnya,

sudahlah,
t0h ia juga tak akan menangisimu di tidurmu nanti.

Tapi aku tetap menatapnya,
paling tidak, cintaku semakin dalam tiap menatapnya terlelap.

.puing.
Angin savana yg membuatku seperti ini...!

Kiriman seorang kawan

Matahari dan bulan

From my friend, frodo

___Biar bulan bercermin pada lembayung senja
Meratapi kerinduan pada sang mentari
Hanya langit yang menjadi saksi
atas kebisuan asa yang terperi

Bintang-bintang pun berkerlip bimbang
Akankah mereka bisa menghibur bulan?
sedang bulan meragu
tentang harap untuk bersua

Malam pun beranjak dan merambat
menutup bayang-bayang kehidupan
ketika anak adam melempari bulan dengan botol
dan meneriakinya tajam____


“Hei bulan! Tidakkah kau tahu?! Sedari pagi tadi Surya menangis deras dengan awan-awannya!
Tapi sekarang kau malah kemayu dengan purnama yang kau dapati dari dia!
Tidak adakah pengertian dari mu?! Sedikit empati atau simpati padanya?!
Dia kesepian tahu?! Setiap hari ada saja yang menggerutui hangat sinarnya!
Sementara kau di sini. Yang takkan pernah bisa berbias cahaya tanpa dia, malah ketiban untung!
Tak ada manusia yang mengeluhkan keberadaanmu! Mereka malah terlalu mengelu-elukanmu!
Memuja dan memuji binar sabit hingga purnamamu!
Mereka tak tahu bahwa kamu tak berarti apa-apa tanpa Sang Surya yang seringkali mereka gerutui!
Mereka juga lebih sering merindukanmu ketimbang Surya!”
Lalu anak Adam itu berlalu dengan tubuh sempoyongan.


___Bulan pun bimbang.
Wajahnya putih memucat
Tak lagi sebenderang dulu.

Ia merasa terluka atas kedigdayaan
yang tak bersumber dari dirinya.
Ia merasa malu pada mentari
yang seharusnya lebih berhak atas pujaan itu.

Hingga tiba waktunya...
saat bulan berada di antara bumi manusia dan mentari...___


“Suryaku.... apa benar kamu merasa kesepian? Benarkah kamu sering menangisiku lebat?
Apa benar cahaya yang kamu berikan untukku malah membuatmu di lupakan bahkan sering dicaci dan dimaki?
Kini gerhanamu telah tiba. Saat bagi kita untuk berbagi kerinduan yang singkat hingga Tuhan kembali mempertemukan kita lagi kelak.
Aku harap kamu mau jujur padaku.....”


__Untuk pertama kalinya bulan dan mentari bertemu
dalam canggung dan keraguan yang membayang.
Tak ada senyum atau sapa
yang biasa tersambut dari keduanya___


“Ah.. purnamaku sayang, seharusnya perjumpaan kita tak perlu diawali dengan membahas hal ini.
Tidakkah lebih baik jika kita mengungkapkan kerinduan yang lebih indah?
Aku rindu akan kisah di malam-malammu yang syahdu.
Tentang sepasang kekasih yang memuja elok mu.
Yang menjadikanmu sebagai saksi atas kisah cinta mereka...
Aku rindu itu... bukan yang lain”

“Tapi... kata anak Adam...” Bulan menyanggah.

“Ah.. lagi-lagi anak adam. Tolonglah kamu tak perlu untuk terlalu menghiraukan mereka.
Mereka memang selalu begitu. Menilai dan menghakimi dari satu sisi saja.
Tak mau melihat lebih jauh, mengerti lebih dekat, dan memahami lebih dalam.
Biarkan saja mereka seperti itu. Kita biarlah menjadi kita. Aku mentarimu dan kamu purnamaku.
Kita di sini sedang mengemban titah Tuhan. Bukan sedang memainkan sandiwara cengeng seperti Romero dan Juliena.

“Jangan pernah lagi kamu bertanya apa aku kesepian. Sebab jika kamu tahu, aku di sini juga tak pernah sendirian.
Meski seringkali aku merindukanmu. Aku masih ada arakan awan yang menemaniku.
Aku masih ada burung-burung yang melintasiku. Aku masih ada hamparan langit yang membiru lazuardi.

“Cukup kamu menjadi dirimu. Aku masih akan tetap merindukanmu.
Bukankah sudah kutitipkan kerinduanku pada bintang-bintang dilangit malam mu? Bukankah sudah ku biaskan kerinduanku dalam terang cahaya purnamamu?
Asal kamu tahu, aku tulus melakukan semua ini.
Aku tak perduli dengan kedigdayaan yang manusia sematkan dengan seenaknya.”

Jumat, 29 Juli 2011

sebuah catatan kecil, " Aku lupa kalau aku perempuan"



Aku lupa kalau aku perempuan. . . "
Sunday, July 24, 2011 12:40 AM

Maaf, aku lupa,

bahkan aku lupa caranya menangis ketika hatiku sangat perih,



aku lupa,

caranya menyenangkan hati ketika hatiku benar benar sakit,



bahkan ketika seorang bert0peng wanita mencabik cabik hatiku,



ambil saja lelaki itu, ambil, tapi jangan dengan melukaiku,



peluk lelaki itu seerat kau bisa, aku tak kan menyentUhnya, asal jangan menggores lagi luka yang tak pernah mengering ini.



Aku heran, kau wanita bukan?

_untUk wanita angGun yg pernah bilang aku adiknya.

sebuah catatan keci, "Hapuslah namanya, dan gantilah dengan namaku...."

Sulit sekali aku mengatakan kalimat itu.



Dhim, semoga aku selalu salah sangka.



Entah kenapa tiap tak sengaja membaca tulisanmu, aku selalu berfikir bahwa kau masih menempatkan ia, wanita yg dulu sempat sangat kau cinta, sebagai kenangan yg paling indah dan seperti masih menaruh engkau harapan padanya yg sudah dimiliki orang.



Hehmmm, aku tak memaksa kau melupakannya tentang k0ta semarangmu yg penuh kenangan,

tentang Juni di 2-3tahun lalu,



tapi ingatlah jua tentang Juni setahun lalu, dan aku dengan kampungku ini, ingatkah?



Aku cemburu? Tidak, aku tak akan mencemburuinya, tapi ingatlah sayangku, telah ada lelaki yg memilikinya, yg akan kau berd0sa jika mengharapkannya,



jadi ku m0hon, hapuslah namanya, dan gantilah dengan namaku.



Ingatlah tentang Juni kita setahun lalu, ingatlah tentang harapan yg kita gantung bersama, ingatlah bahwa segala aral kemarin adalah jalan pendewasaan kita, ingatlah Dhim, ingatlah. . .



Aku sampai seperti nista membujukmu mengingatku,

tapi apa yang harus bulan lakukan ketika matahari lupa untuk menyinarinya?



Dhim,

there was n0t our m0ment, we d0n't have anything, but remind our wishing, our dreams, our praying...



Remind on June a year ago, remind all, please f0r me..



Hanya itu,

aku ingatkan, bahwa aku tak beranjak dari tempat ketika pertama kau datangi, dan terakhir kau tinggalkan.



Aku masih tetap di sini, menunggu.



Kampungku,

27.07.11