Syair Sang Bulan

Benderang di langit malam,
hanya ini yang ku bisa, memikul beban beratmu sang Surya,
sekalipun bantu ku tak banyak bermakna,
paling tidak, hingga kelak Tuhan pertemukan kita..."

"Like the Moon who embrassed that Sun,"

Senin, 30 Mei 2011

Potongan Kata Maaf karya Puing Kanaya

_Cerpen ini juga pernah diterbitkan di buku "Rumah Pelangi"



Potongan Kata Maaf
bisa dibaca di buku Rumah pelangi

Untuk Nagiba,

Siang itu matahari telah menampakkan sinarnya yang terik, ia seolah ingin memanggang puing-puing sisa kebakaran tiga hari yang lalu. Bangunan kokoh berlantai dua yang kini hanya tinggal puing-puingnya saja, tampak kehitaman dan seolah ringkih untuk dipercayai lagi bahwa bangunan itu tiga hari lalu masih berwujud asrama putri para guru Sekolah Dasar.
Seorang lelaki jangkung tampak memandangi sisa bangunan itu, ia menatapnya lagi setelah setahun lebih ia tak pernah lagi menatap bangunan itu. Mungkin kalau saja tiga hari yang lalu tidak terjadi kebakaran di asrama itu pastinya lelaki itu tidak akan berdiri di tempat sekarang ia berdiri menatap tiap retakan bangunan itu.
Matanya lekat entah mengartikan apa, seperti rasa terdalam yang belum pernah ia ungkap sebelumnya, seperti ia ingin bercakap dengan asrama itu namun semua telah terlambat karena asrama itu hanya tinggal puing-puing sisa si jago merah.
Ia menunduk memandangi kakinya yang terbalut sandal selop di atas rerumputan lapangan, sejenak tampak ia melangkahkan kakinya perlahan ke arah bangunan yang masih dilingkari pita kuning sebagai garis pembatas dari polisi.
Lelaki itu melewatinya saja, berjalan perlahan dan berhenti tepat di depan tangga yang akan membawanya ke lantai atas dari bangunan berlantai dua itu. Ia berhenti sejenak tapi akhirnya kakinya melangkah juga, perlahan dengan menghindari debu dan kayu keropos yang dapat saja menjatuhinya. Hingga ia sampai di lantai dua, ia langsung berbelok ke kanan, kapling tujuh, itu yang ia cari, menatap pintu yang sudah terbakar dan dinding hitam oleh api. Aku menatapnya saja, membiarkan ia berjalan menuju kamarku, ah kamarku, masa dia tahu kalau itu adalah kamarku, mungkin dia asal masuk saja dan kebetulan itu kamarku. Lelaki itu menatap ke arah meja kecil yang berisi sisa-sisa kertas berserakan yang tersobek-sobek tampak menghitam dan menjadi abu, ia membersihkan mejaku dengan tangannya, biasanya ia tak mau tangannya itu kotor kena debu, mungkin ia sudah lupa akan hidup sterilenya. Usapan tangannya yang pertama di meja itu ia hanya memperoleh debu hitam yang kotor, tapi usapannya yang kedua ia memperoleh bingkai foto yang terbalik dan tergeletak bertumpuk debu di meja itu. Bingkai kaca itu sanggup melindungi foto yang terpampang di dalamnya, lelaki itu menatap lekat wajah dirinya dan aku yang tampak ceria dalam foto itu. Ia tertunduk, memikirkan sesuatu, biar kutebak ia pasti memikirkan bahwa aku masih menyimpan fotonya padahal ia sudah setahun lebih meninggalkan aku tanpa kabar apapun, aku yakin ia menyesal meninggalkanku tanpa sepatah kata apapun.


>>>> bersambung di Rumah Pelangi Tentang Cinta :Karuna Vidya Jakarta 2011

Sebuah Pernyataan karya Puing Kanaya

_cerpen ini pernah diterbitkan di buku "Rumah Pelangi",,,
selengkapnya silakan beli bukunya :-)

Apa kabar suamiku?
Ku harap kau dalam keadaan baik ketika membaca tulisanku ini.

Di sini, pertama aku ingin mengenang masa silam kita, ketika kita masih berstatus mahasiswa, ketika jiwa muda kita masih iseng dan labil. Betapa seringnya kita bertengkar, tentang apa saja, entah itu masalah kuliah, organisasi, atau hal-hal tak penting. Ada saja yang bisa kita perdebatkan untuk menciptakan suatu kegaduhan di tempat kita berada.

Ketika kau memarahiku, aku memukulmu, kau menjitakku, bercanda, berceloteh, saling ejek, huh…. Menggemaskan sekaligus menyebalkan, tapi aku suka jika mengenangnya, rasanya hal seperti itu menjadi sesuatu yang membuat aku semakin sayang padamu.

Lalu, kau ingat bagaimana wajah teman-teman kita, saat dua tahun setelah kita wisuda, kau ingat ketika mereka tercengang membaca undangan yang kita kirimkan.

“Apa Ren, yang benar saja?”
“Lho, jadi kau menikah dengan Rendra?!”
“Apa ini, tak salah?! Bukannya kalian tak pernah akur?”
“Jangan-jangan undangan ini salah cetak…”
“Ah, paling cuma kemiripan nama…”

Dan entah apa lagi komentar mereka, lebih-lebih ketika mereka melihat di pelaminan aku dan kamu yang menikah.
Tapi,
Di sini aku tak ingin banyak membahas bagaimana kita dulu, yang ingin ku ungkapkan adalah apa saja yang ada setelah sembilan tahun pernikahan kita.

Saat pertama tamparanmu melayang ke pipiku, bukan ciuman hangat yang biasa kau persembahkan untukku. Perih rasanya, bukan karena sakit tamparanmu, tapi kenapa tanganmu begitu ringan hingga menghadiahkan tamparan untukku?! Apakah kau khilaf? Atau memang aku terlampau salah? Jawabannya ada di atap rumah kita, kalau saja atap itu mau menceritakannya padaku.


>>> lanjutkan di buku Rumah Pelangi Tentang Cinta :Karuna Vidya Jakarta 2011

Tentang Juni dan selalu Juni

Tentang bagaimana kita dulu,

aku rindu, pada waktu pertama kita tahu, diantara kita, dan keadaan yg mendukung kenyataan untuk kita, sungguh aku sangat bersyukur jika benar kau nyata bagiku,

tapi,,

seperti inilah aku, aku ya seperti ini, lengkap dg segala kelemahanku yg tak bisa kau maklumkan,

pergi,,

kau memang pergi meningGalkan lara ini,

dan aku,

tak berani lagi memulai,

biar perihku ku bawa lari,

biar tetap seperti ini,

sendiri

: puing

mem0ar J.U.N.I

`akan tiada lagi kini tawamu, tuk hapuskan semua sepi di hati`

aku masih tidak percaya,

kalau harapan itu k0song, aku masih tidak percaya,

Tuhan, bantu aku untuk menyadari semua ini, kenapa begitu perih, padahal baru sekejap ia hadir,

Tuhan, aku tak ingin seorang pun mendatangi hatiku, jika berniat pergi, . .

Tuhan, kenapa mesti kau hadirkan dia, jika sekejap ia pergi, dalam dawai kekalahan,

Tuhan, kenapa ia sangGup runtuhkan bentengku, tapi ia tak sangGup bertahan di dalamnya..

Tuhan, aku masih tak percaya,

Tuhan, aku ingin kembali, pada saat hatiku begitu kuat, pada waktu hendak ku nikmati hatiku sendiri, dan kau hadirkan ia, dengan pesonanya yg memukau, dan aku jatuh, dan terpuruk..

Tuhan, entah harus ku apakan retakan hatiku ini,

Tuhan, jangan Engkau hadirkan lagi matahari untuk bulan, jika ia semu, hanya ada satu matahari nanti untuk bulan, dan ia nyata, tak semu..

Tuhan, hindarkan aku dari perih ini, kesempatanku telah habis.

Dan mungkin inilah akhir,

sekalipun masih juga tak ku percayai.

_tears of puing_

Minggu, 15 Mei 2011

Sebuah catatan pendek, karya puing kanaya

Menjadilah terang di hening ringkik pagi,

aku sebatas waktu yang membeku, dalam pilu dan deru, ku rinduimu terang..

Ku rinduimu,

sesekali mataku lantang menatapmu, tapi kemudian aku tertunduk, perih..

`kenapa dengan sinarmu kau menyakitiku?`

`sungguh dinda, tidaklah aku bermaksud, tapi beginilah aku, terangku sewaktu-waktu hanyalah p0ison yang bisa saja mematikanmu,`

aku tak bergeming, bukan. Ia bukan p0ison, tapi aku yang terlalu lemah.

_aku, kepingan puing mimpi

Kamis, 05 Mei 2011

who would be...?

masih sebatas angan, entah siapa nanti, 
karena ada banyak cerita, banyak pilihan pula
dan hanya satu yang tepat
suatu hari nanti, 
pasti


Just puing